Rabu, 15 Agustus 2012

Orang Rimba = Suku Kubu (Part III)

Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.
Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)
Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Naskah ini disalin dari http://uun-halimah.blogspot.com tanggal 14 Agustus 2012.

1 komentar:

  1. Hahaha tiap hari liat orang kubu ane sob. Sekarang dah pada moderen pada pegang hape walau gak bisa baca. Pada naek motor skg.. Hahaha.

    BalasHapus