Selasa, 14 Agustus 2012

Orang Rimba = Suku Kubu (PART I)

SELAKU anak Jambi yang lahir di pedesaan di Kabupaten Tebo, sejak kecil saya sudah mengenal siapa itu Orang Rimba. Istilah "Orang Rimba" sebenarnya baru diperkenalkan 12 tahun terakhir oleh para peneliti dan beberapa NGO yang menyebut istilah "Suku Kubu" bagi kelompok masyarakat yang tinggal di hutan itu tidak manusiawi dan sangat memarginalkan mereka. Sebab makna kata "kubu" identik dengan kejorokan, dekil, pemalas dan tertutup karena tidak mau bergaul dengan masyarakat lain. Tetapi di kampung saya, sebutan untuk mereka adalah "Sanak" yang artinya adalah keluarga. Memang, di mana-mana suku ini lebih senang dan merasa terhormat bila disapa "Sanak", tetapi entah mengapa para peneliti lebih suka mempopulerkannya dengan sebutan "Orang Rimba", jangan-jangan mereka ingin hasil penelitian maupun NGO-nya cepat top karena orang asing pasti cepat tertarik karena mirip dengan sebutan "Orang Utan". Banyak sekali naskah hasil penelitian, tapi yang satu ini lebih menarik perhatian saya dan ingin saya persembahkan untuk pembaca :            
PROVINSI JAMBI adalah sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Suku Kubu. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, Merangin dan Batanghari. Ini artinya hanya Kota Jambi, Kerinci, Tanjungjabung Barat serta Kabupaten Tanjungjabung Timur yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’--1º58’ Lintang Selatan dan 102º32’--102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.

Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2--40º Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50--438 meter dari permukaan air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih 438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas, juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.

Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang berada di bagian selatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar