Versi keempat
menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering
didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan
anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim
dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan
perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang
berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu
ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya
itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang
lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu
perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang
terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah
Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya
perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung
Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di
daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian
diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu
disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut
dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk
kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal
dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga
betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam)
orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian
yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal
menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat
pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat
yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang
dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5)
senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau
bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan
oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki
atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling
menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara,
berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya
perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah
Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan
lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah
hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka
beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba
menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat
suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah
ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka
mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka
berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat
tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga
dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai
berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal
di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar
dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka
sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah
mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan
dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan
juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan
nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan
mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan
cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih
senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan
Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni
sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi
ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai
Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung
Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon
kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari
pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena
menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila
dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar
yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa
tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah
kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi
diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang
tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air
serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat
apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan
daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang
luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru
yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka
menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka
mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah
sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi
sekarang ini.
Versi kelima
mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah
orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami
keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya
yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke
hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat
sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras
Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang
paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan
atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu.
Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia
adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut
berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan
ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan
lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu
terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala,
Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu,
semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik
antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama,
ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut
kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi
menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang
ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua
ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni,
sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih
murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau
campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu
termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)
Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa,
J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Naskah ini disalin dari
http://uun-halimah.blogspot.com tanggal 14 Agustus 2012.