Sabtu, 10 Maret 2012

SENTILAN BANG DORI (3)

                                     Syahdan, di sebuah negeri antabarantah. Hiduplah seorang raja muda yang amat kaya. Suatu hari ia minta ditukar pengawal pribadinya dengan yang baru. Oleh para menteri disediakanlah dua orang satria untuk dipilih sang raja. Kedua jagoan itu bernama Ruka dan Ruki. Mereka dua bersaudara yang tidak tertandingi. Setelah menerima masukan dari banyak pihak, akhirnya sang raja memilih Ruka sebagai pengawal pribadinya. Ruki merasa iri dan mulai berusaha mempengaruhi pihak istana dengan terus menerus melancarkan fitnah tentang Ruka.  Masa lalu Ruka memang kelam. Ia pernah menjadi pembunuh bayaran. Tetapi akhirnya insaf dan lebih suka berbuat kebajikan. Ia tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan kebenaran. Jangankan membunuh manusia, membunuh lalat pun ia tidak tega. Kesetiaannya kepada sang raja telah berulangkali dibuktikannya.  Tetapi si licik Ruki tidak pernah menyerah. Dia sangat pandai mengarang cerita tentang kejelekan kakaknya itu. Singkat cerita, sang raja mulai terpengaruh dan selalu curiga terhadap apapun yang dilakukan Ruka. Meski Ruka tidak dipecat, tetapi tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam istana. Dia hanya diberi tugas mencabut rumput dan memberi makan kuda pacuan. Suatu hari kuda pacuan kesayangan raja mati diracuni Ruki. Namun tak seorang pun yang tahu, kecuali Ruka. Ruka sudah berusaha membela diri dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tetapi sang raja terlanjur murka dan langsung mengusir Ruka dari negeri tersebut. Sejak itu, sang raja selalu diliputi rasa ketakutan dan cemas. Ia sulit sekali percaya pada orang lain. Setiap ada bisikan yang tidak baik, ia langsung percaya. Lama kelamaan orang-orang dekatnya mulai menjauh dan berkurang karena dipecat tanpa alasan yang jelas. Kini suasana istana tampak sepi dan tidak lagi hangat seperti dulu. Orang-orang yang tadinya amat setia dengan raja tidak lagi berani mendekat. Para menteri dan penasehat raja juga tidak mau banyak bicara. Mereka takut disalahkan dan dipecat. Diantara merekapun sudah saling curiga. Perpecahan tidak bisa dihindari. Raja kian bingung tiap kali menghadapi masalah dan tidak tahu harus bicara dengan siapa. Dia seperti berjalan di lorong gelap. Bila melangkah, kakinya tersandung sesuatu dan kepalanya membentur tembok. Ia ingin sekali keluar dari penderitaan itu tapi tak kuasa. Akhirnya sang raja mengasingkan diri ke hutan, lalu mati dimangsa hewan buas tanpa ada yang tahu. Cerita ini terilhami setelah saya membaca buku Mind Power Skills-nya Dr Ibrahim Ekfiky. Dalam buku internasional bestseller, itu menyebutkan, sejatinya pikiran negatif itu lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan. Ia merangkai hidup ini menjadi mata rantai penderitaan. Perasaan negatif, perilaku negatif, dan hasil yang negatif seperti sakit jiwa, sakit fisik, kesepian dan ketakutan.  Saya melihatnya seperti gigitan ular. Sangat menyakitkan tapi tidak mematikan. Yang mematikan adalah racun yang mengalir ke peredaran darah. Begitu pula dengan pikiran negatif; ia hanya bisikan yang muncul dalam diri seseorang. Yang membahayakan adalah penumpukkan pikiran dalam memori hingga menjadi kebiasaan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya. Itulah kenapa penderitaannya tiada berakhir. Semoga ini berhikmah. (naskah ini sudah dimuat di Harian Radar Tebo, Senin 12 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar