Sabtu, 10 Maret 2012

SENTILAN BANG DORI (1)

"Absen menjadi wartawan bisa aku lakukan walau tidak tahu sampai kapan. Tetapi absen menulis serasa sulit karena menulis bagiku bagai mendengar alunan musik..mengalir ke dalam jiwa..sampai jauh.." Itulah sebait kalimat yang saya tulis di profil akun facebook sejak absen sebagai jurnalis beberapa tahun silam. Hari  ini kegelisahan itu menyeruak. Saya tak kuasa menahannya. Puluhan tahun mendapat nafkah dari merangkai kata reportase hingga cerpen dan puisi. Terima kasih kepada redaksi koran ini, memberi ruang untuk saya berapresiasi, merangkai kata yang mungkin membuat pembaca tersinggung. Maafkan saya. Hari ini. Seketika rasa bangga saya terhadap Tebo sebagai "kota sejarah" --yang berkonotasi menyimpan kekayaan historis,  bersih, indah dan nyaman--menjadi sirna saat melihat kotoran sapi di mana-mana. Seolah, kota kecil ini menjadi WC umumnya para sapi, kerbau dan kambing. Saya tidak mengerti, kenapa semua orang menjadi acuh. Apakah para binatang itu yang harus lebih dulu diberi pendidikan etika misalnya, baru kemudian sanksi bisa ditegakkan? Atau kita yang tidak beretika lantaran sudah terbiasa menyaksikan sapi buang hajat dan orgasme melototi bokong seksinya? Ah..ini yang membuat saya masgul. Kini saya sedang bermimpi. Sebentar lagi kotaTebo siap berdandan. Jalan dua jalur yang mulus, lampu taman yang unik, trotoar dan selokan yang rapi, pohon pelindung dan tanaman hias di mana-mana. Turap Tanggo Rajo menjadi tempat bersantai yang  indah. Gemerlap lampu malam yang memantul ke Sungai Batanghari, menandakan; masyarakat Tebo memiliki jiwa estetika yang tinggi. Dalam mimpi saya, kian banyak yang sadar--kebersihan kota adalah cermin keimanan. Menurut saya, Pemkab Tebo harus tegas. Ternak yang berkeliaran cepat ditangkap. Bila tidak ada pemiliknya yang bertanggungjawab, boleh diberikan kepada desa lain yang lebih membutuhkan.  Atau disembelih dan dagingnya untuk fakir miskin agar anak-anak mereka bergizi. Tentu harus punya dasar hukum yang jelas serta mentalitas petugas yang kuat. Saya sangat tidak yakin kita telah kehabisan solusi untuk mengatasi hal ini. Saya bukan menggurui. Menjiwai etika dan estetika menjadi wajib tatkala  kita sepakat ingin wajah Tebo berubah. Bersyukurlah, Tebo tidak berdiri di atas tanah tandus dan kosong. Tebo ada setelah para pejuang menulis riwayat hidupnya dengan darah dan air mata. Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin menjadi saksi bisu dalam babad sejarah keberadaan Tebo yang kini telah menjadi kabupaten. Sungguh, kita tidak punya etika sedikitpun bila ceceran darah, nyawa dan air mata mereka kita balas dengan onggokan kotoran sapi di mana-mana--hingga ke makam sang pahlawan. Tebo harus bangkit menggapai perubahan. Tebo tidak boleh santai, tidak boleh lelet dan harus bekerja keras  bila ingin mengejar ketertinggalannya. Tidak ada yang sulit bila memiliki kemauan yang kuat. Kecuali estetika warga Tebo yang rendah dan lebih suka bergunjing ketimbang memperindah lingkungannya. Salam perubahan!    (naskah ini sudah dimuat Radar Tebo edisi Senin, 27 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar