Senin, 19 Maret 2012

Ekpedisi Geologi Sumay-Nalotantan

     Bertualang ke hutan bukanlah pekerjaan mudah. Selain persiapan mental dan kekuatan fisik, juga harus memiliki peralatan navigasi yang cukup, dan saya hanya bermodalkan nekat.      Bila dua bulan lalu saya ikut bertulang ke pedalaman hutan Sumay di Kabupaten Tebo, kali ini, pertengahan Maret, saya kembali nekad mengikuti Coal Expedition Nalotantan bersama Bapak Cecep S Hidayat, seorang ahli geologi dari LAPI ITB Bandung. Bagi saya, lebih tepat menyebutnya dengan Geo Wisata Nalotantan.      Sebelum saya berkisah tentang ekspedisi Nalotantan, saya ingin sedikit menceritakan Coal Expedition Sumay. Sebetulnya, ke pedalaman Sumay tidak ada yang istimewa. Kawasan ini sesungguhnya tidak ada lagi hutan. Yang ada adalah hamparan puluhan ribu hektare perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri milik "raja HTI" Sinarmas Group.      Pemadangan ini justru membuat saya sedih manakala menyaksikan masyarakat sekitar kesulitan mencari lahan untuk berkebun. Selain rata oleh perkebunan swasta, penetapan tapal batas kawasan Hutan Produksi (HP) oleh Pemerintah sudah sampai ke belakang dapur dan pemakaman umum.      Konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan perambah liar yang datang dari luar Jambi sudah lama berlangsung di Tebo. Pertikaian hebat pecah dua bulan lalu antara perambah liar (penduduk setempat menyebutnya dengan istilah pendatang haram) dengan PT Lestari Asri Jaya. Tidak sedikit yang terluka bahkan ada yang tewas pada pertikaian itu.      Persoalan tumpang tindih perizinan, bukan hal aneh di Tebo. Dari 62 izin eksplorasi tambang batubara, mayoritas berada di kawasan hutan HP. Bahkan ada yang masuk kawasan HTI dan HPL yang sudah dikeluarkan izin perkebunan. Inilah faktor utama kenapa hanya empat buah saja pemilik tambang di Tebo yang produksi. Selebihnya masih "terperangkap" dalam kemelut tumpangtindih perizinan serta kesulitan mendapatkan izin pinjam pakai hutan HP. Padahal potensi kandungan batubara di daerah ini sangat besar, lebih dari cukup membuat Tebo kaya.       Menurut saya, perjalanan ke belantara Nalotantan Kabupaten Merangin jauh lebih menarik dan penuh tantangan. Sebagai pemandu tim geologi, saya benar-benar ingin menikmati petualangan ini. Menurut data, potensi kandungan batubara di Merangin memang minim dibanding Kabupaten Bungo, Tebo, Tanjab Barat, Sarolangun, Batanghari dan Muaro Jambi.       Sungguhpun begitu, Merangin termasuk penghasil tambang biji besi terbesar di Jambi. Kawasan ini terletak di bagian utara Merangin, merupakan bagian dari lereng Bukitbarisan. Namun izin usaha pertambangan yang ada semuanya berada dalam kawasan hutan penggunaan lain (HPL).  Kondisi ini amat jauh berbeda dengan Kabupaten Tebo yang izin tambangnya berada di kawasan hutan HP.             Kami mulai melakukan kegiatan survei pada Sabtu 10 Maret 2012 lalu.  Setelah sarapan pagi di sebuah rumah makan dan menyiapkan bekal makan di hutan, kami segera memulai perjalanan pada jam 9 pagi. Tim dibagi dua regu. Regu pertama masuk dari arah utara melalui Desa Danau dan lebih dulu meniti jembatan gantung yang sudah mulai rapuh. Tim ini dipimpin Zainul serta seorang ahli geologi dan beberapa kru penunjuk jalan dari desa setempat.      Sedangkan saya mengikuti regu kedua yang dipimpin Pak Cecep. Tim ini akan menyisir kawasan selatan Nalotantan yang berbatasan dengan hutan Sungaimanau. Jujur, sebenarnya saya amat takut menyertai regu kedua ini. Selain medan yang akan ditempuh cukup berat, di kawasan ini diperkirakan masih banyak binatang buas seperti harimau. Buktinya, dua bulan lalu, seorang penyadap karet tewas hingga kepalanya terpisah dari badan setelah dimangsa habis kawanan raja hutan Sumatera tersebut.      Setelah satu jam perjalanan dari Desa Danau, mobil dua kabin 4x4 yang kami gunakan sampai ke Desa Nalobaru. Di sini kami menjemput Darwis, seorang guide yang sangat hapal dengan hutan sekitar itu.  Perjalanan dengan mobil akhirnya terhenti setelah kami menemukan jembatan patah. Satu jam kami memperbaiki jembatan darurat tersebut, baru perjalanan bisa dilanjutkan.      Hanya lebih kurang 300 meter kami meninggalkan jembatan tadi, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan lagi.  Ada sungai kecil tapi cukup curam dan memaksa mobil harus parkir di situ. Berjalan kaki, itulah yang harus kami lakukan untuk bisa mencapai lokasi titik singkapan batubara yang pernah ditemukan penduduk seperti Darwis.       Tanjakan terjal membuat nafas kami amat tersengal hingga ke puncak bukit. Awalnya kami masih menemukan kebun karet tua milik penduduk. Lama kelamaan pohon karet tidak ditemukan lagi. Kami mulai masuk kawasan hutan belukar yang lumayan lebat dan dingin. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara gemuruh burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan itu terkejut dengan kedatangan kami.      Namun hati ini berkata lain, seolah ada isyarat yang kurang baik. Mulutpun terus komat-kamit membaca doa. Sekali lagi, jujur, saya amat takut dan bulu kuduk terus merinding. Karena saya amat menyukai suara burung, maka kicauan aneka burung di hutan itu sedikit membuat saya terhibur dan melupakan rasa takut. Pak Cecep, geolog yang separuh hidupnya berada di hutan Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, terus mengamati peralatan navigasi dan mencatatnya.     Darwis, yang bergerak lincah bagaikan seorang Tarzan, membuat kami cukup kewalahan mengikutinya. Akhirnya dia menemukan sungai kecil dan memberi tahu kami ada singkapan batubara di dasar sungai tersebut.    Setelah mengamati, mencatat dan mengambil contoh untuk dibawa, kami segera bergerak mengikuti langkah Darwis. Pria berusia 30-an tahu ini bercerita, sebenarnya yang menemukan pertama kali ada potensi batubara di hutan itu adalah Arifin yang kini sudah berusia 70 tahun.       Arifin yang tak lain adalah orangtua Darwis, saat itu berusia sekitar 25 tahun dan gemar berburu kancil dan rusa. "Tiap kali menemukan benda aneh ini ayah selalu bercerita pada ibu hingga saya dewasa kerap diajaknya ke hutan," kisah Darwis sambil menimang-nimang bongkahan benda hitam itu di tangannya. Pemuda berbadan tegap itu sangat berharap penambangan segera dilakukan karena ia dan teman-temannya di kampung ingin sekali lepas dari pengangguran.      Kami berhenti sebentar melepas penat sambil makan nasi bungkus yang kami bawa dari kota Bangko tadi pagi. Sesekali kami terdiam dan prihatin mendengar kisah hidup Darwis dan kawan-kawannya yang kerja serabutan sambil mencari rotan di hutan. Perjalanan ke titik-titik singkapan berikutnya terus kami lakukan walau kaki ini amat letih. Kerap saya tertinggal di belakang dan langsung menjerit minta tunggu bila rombongan tidak tampak lagi oleh lebatnya hutan.      Akhirnya kami sampai ke titik singkapan terakhir setelah menyeberangi sungai kecil. Sebelumnya kami sempat menemukan sebuah perangkap menyerupai kandang terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kuat dugaan, itu adalah perangkap harimau yang dibuat oleh pemburu liar. Kami juga menemukan jerat-jerat kecil yang dibuat dari sebatang kayu kecil dan tali nilon. "Itu jerat landak dan kancil," kata Bobo, teman Darwis.      Hari sudah mulai gelap walau jam ditangan baru menunjukkan jam empat petang. Kami mempercepat langkah untuk segera kembali ke tempat di mana mobil dan sopir menunggu. Tanpa terasa sudah lima kilometer lebih kami mengintari hutan Nalotantan dengan berjalan kaki. Kami berhenti sejenak melihat tiga potong batu menyerupai kayu log sebesar drum. Rupanya itu adalah posil kayu sungkai yang sudah menjadi batu.      Kamipun duduk santai di atas posil kayu berwarna hitam itu sambil bergantian memotretnya dengan kamera saya. Tiba-tiba saya baru merasakan perih di kaki hingga betis. Rupanya puluhan ekor binatang bernama pacet sudah bunting menghisap darah di kaki saya. Kejadian itu juga menimpa teman-teman yang lain. Setidaknya, hari itu kami sudah donor darah untuk pacet hutan Nalotantan.      Kamipun mendapat berita dari pesan SMS, rupanya regu pertama yang masuk dari arah utara sudah kembali ke hotel. Mereka terpaksa menghentikan kegiatan survei karena mendapat pengusiran dari beberapa warga setempat. Ternyata, sebelum tim ekspedisi ini datang, sudah tersiar cerita bahwa masyarakat pemilik kebun akan mendapatkan biaya konvensasi jutaan rupiah bagi kebunnya yang terkena survei.       "Itu informasi yang keliru, dan tidak mungkin tim geologi memiliki  sumber dana untuk hal seperti itu. Kami ini tim peneliti, bukan pengusaha tambang," ungkap Pak Cecep dengan nada kecewa. Pakar geologi ini pun akhirnya menjelaskan, kejadian seperti ini baru pertama kali dialaminya. "Kalau di tempat lain malah masyarakatnya merasa senang lahannya disurvei karena baginya bisa memberi harapan yang besar pada masa yang akan datang," ujarnya.      Untung kesalahpahaman itu bisa diselesaikan oleh kepala desa setempat. Kegiatan survei dapat dilakukan kembali esok hari.   Di hotel kami banyak berdiskusi dengan geolog yang juga berprofesi sebagai dosen ini. Menurutnya, di Merangin potensi kandungan batubara amat sedikit. Rata-rata hanya dengan ketebalan dua hingga tiga meter dengan luas pormasi hanya beberapa ratus meter saja.       Tentu saja hal ini kurang ekonomis. Apalagi dengan jauhnya lokasi tambang dan dermaga. Belum lagi persoalan carut-marutnya kebijakan pemerintah daerah soal jalan. Rencana pengerukan Sungai Batanghari atau pembangunan jalan alternatif entah kapan akan terwujud.  Wajar saja bila masyarakat Jambi saat ini berpendapat, tambang batubara lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. ***       (Naskah ini sudah dimuat di halaman 1 Harian Tribun Jambi edisi Senin 19 Maret 2012)                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar