Senin, 19 Maret 2012

Ekpedisi Geologi Sumay-Nalotantan

     Bertualang ke hutan bukanlah pekerjaan mudah. Selain persiapan mental dan kekuatan fisik, juga harus memiliki peralatan navigasi yang cukup, dan saya hanya bermodalkan nekat.      Bila dua bulan lalu saya ikut bertulang ke pedalaman hutan Sumay di Kabupaten Tebo, kali ini, pertengahan Maret, saya kembali nekad mengikuti Coal Expedition Nalotantan bersama Bapak Cecep S Hidayat, seorang ahli geologi dari LAPI ITB Bandung. Bagi saya, lebih tepat menyebutnya dengan Geo Wisata Nalotantan.      Sebelum saya berkisah tentang ekspedisi Nalotantan, saya ingin sedikit menceritakan Coal Expedition Sumay. Sebetulnya, ke pedalaman Sumay tidak ada yang istimewa. Kawasan ini sesungguhnya tidak ada lagi hutan. Yang ada adalah hamparan puluhan ribu hektare perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri milik "raja HTI" Sinarmas Group.      Pemadangan ini justru membuat saya sedih manakala menyaksikan masyarakat sekitar kesulitan mencari lahan untuk berkebun. Selain rata oleh perkebunan swasta, penetapan tapal batas kawasan Hutan Produksi (HP) oleh Pemerintah sudah sampai ke belakang dapur dan pemakaman umum.      Konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan perambah liar yang datang dari luar Jambi sudah lama berlangsung di Tebo. Pertikaian hebat pecah dua bulan lalu antara perambah liar (penduduk setempat menyebutnya dengan istilah pendatang haram) dengan PT Lestari Asri Jaya. Tidak sedikit yang terluka bahkan ada yang tewas pada pertikaian itu.      Persoalan tumpang tindih perizinan, bukan hal aneh di Tebo. Dari 62 izin eksplorasi tambang batubara, mayoritas berada di kawasan hutan HP. Bahkan ada yang masuk kawasan HTI dan HPL yang sudah dikeluarkan izin perkebunan. Inilah faktor utama kenapa hanya empat buah saja pemilik tambang di Tebo yang produksi. Selebihnya masih "terperangkap" dalam kemelut tumpangtindih perizinan serta kesulitan mendapatkan izin pinjam pakai hutan HP. Padahal potensi kandungan batubara di daerah ini sangat besar, lebih dari cukup membuat Tebo kaya.       Menurut saya, perjalanan ke belantara Nalotantan Kabupaten Merangin jauh lebih menarik dan penuh tantangan. Sebagai pemandu tim geologi, saya benar-benar ingin menikmati petualangan ini. Menurut data, potensi kandungan batubara di Merangin memang minim dibanding Kabupaten Bungo, Tebo, Tanjab Barat, Sarolangun, Batanghari dan Muaro Jambi.       Sungguhpun begitu, Merangin termasuk penghasil tambang biji besi terbesar di Jambi. Kawasan ini terletak di bagian utara Merangin, merupakan bagian dari lereng Bukitbarisan. Namun izin usaha pertambangan yang ada semuanya berada dalam kawasan hutan penggunaan lain (HPL).  Kondisi ini amat jauh berbeda dengan Kabupaten Tebo yang izin tambangnya berada di kawasan hutan HP.             Kami mulai melakukan kegiatan survei pada Sabtu 10 Maret 2012 lalu.  Setelah sarapan pagi di sebuah rumah makan dan menyiapkan bekal makan di hutan, kami segera memulai perjalanan pada jam 9 pagi. Tim dibagi dua regu. Regu pertama masuk dari arah utara melalui Desa Danau dan lebih dulu meniti jembatan gantung yang sudah mulai rapuh. Tim ini dipimpin Zainul serta seorang ahli geologi dan beberapa kru penunjuk jalan dari desa setempat.      Sedangkan saya mengikuti regu kedua yang dipimpin Pak Cecep. Tim ini akan menyisir kawasan selatan Nalotantan yang berbatasan dengan hutan Sungaimanau. Jujur, sebenarnya saya amat takut menyertai regu kedua ini. Selain medan yang akan ditempuh cukup berat, di kawasan ini diperkirakan masih banyak binatang buas seperti harimau. Buktinya, dua bulan lalu, seorang penyadap karet tewas hingga kepalanya terpisah dari badan setelah dimangsa habis kawanan raja hutan Sumatera tersebut.      Setelah satu jam perjalanan dari Desa Danau, mobil dua kabin 4x4 yang kami gunakan sampai ke Desa Nalobaru. Di sini kami menjemput Darwis, seorang guide yang sangat hapal dengan hutan sekitar itu.  Perjalanan dengan mobil akhirnya terhenti setelah kami menemukan jembatan patah. Satu jam kami memperbaiki jembatan darurat tersebut, baru perjalanan bisa dilanjutkan.      Hanya lebih kurang 300 meter kami meninggalkan jembatan tadi, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan lagi.  Ada sungai kecil tapi cukup curam dan memaksa mobil harus parkir di situ. Berjalan kaki, itulah yang harus kami lakukan untuk bisa mencapai lokasi titik singkapan batubara yang pernah ditemukan penduduk seperti Darwis.       Tanjakan terjal membuat nafas kami amat tersengal hingga ke puncak bukit. Awalnya kami masih menemukan kebun karet tua milik penduduk. Lama kelamaan pohon karet tidak ditemukan lagi. Kami mulai masuk kawasan hutan belukar yang lumayan lebat dan dingin. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara gemuruh burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan itu terkejut dengan kedatangan kami.      Namun hati ini berkata lain, seolah ada isyarat yang kurang baik. Mulutpun terus komat-kamit membaca doa. Sekali lagi, jujur, saya amat takut dan bulu kuduk terus merinding. Karena saya amat menyukai suara burung, maka kicauan aneka burung di hutan itu sedikit membuat saya terhibur dan melupakan rasa takut. Pak Cecep, geolog yang separuh hidupnya berada di hutan Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, terus mengamati peralatan navigasi dan mencatatnya.     Darwis, yang bergerak lincah bagaikan seorang Tarzan, membuat kami cukup kewalahan mengikutinya. Akhirnya dia menemukan sungai kecil dan memberi tahu kami ada singkapan batubara di dasar sungai tersebut.    Setelah mengamati, mencatat dan mengambil contoh untuk dibawa, kami segera bergerak mengikuti langkah Darwis. Pria berusia 30-an tahu ini bercerita, sebenarnya yang menemukan pertama kali ada potensi batubara di hutan itu adalah Arifin yang kini sudah berusia 70 tahun.       Arifin yang tak lain adalah orangtua Darwis, saat itu berusia sekitar 25 tahun dan gemar berburu kancil dan rusa. "Tiap kali menemukan benda aneh ini ayah selalu bercerita pada ibu hingga saya dewasa kerap diajaknya ke hutan," kisah Darwis sambil menimang-nimang bongkahan benda hitam itu di tangannya. Pemuda berbadan tegap itu sangat berharap penambangan segera dilakukan karena ia dan teman-temannya di kampung ingin sekali lepas dari pengangguran.      Kami berhenti sebentar melepas penat sambil makan nasi bungkus yang kami bawa dari kota Bangko tadi pagi. Sesekali kami terdiam dan prihatin mendengar kisah hidup Darwis dan kawan-kawannya yang kerja serabutan sambil mencari rotan di hutan. Perjalanan ke titik-titik singkapan berikutnya terus kami lakukan walau kaki ini amat letih. Kerap saya tertinggal di belakang dan langsung menjerit minta tunggu bila rombongan tidak tampak lagi oleh lebatnya hutan.      Akhirnya kami sampai ke titik singkapan terakhir setelah menyeberangi sungai kecil. Sebelumnya kami sempat menemukan sebuah perangkap menyerupai kandang terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kuat dugaan, itu adalah perangkap harimau yang dibuat oleh pemburu liar. Kami juga menemukan jerat-jerat kecil yang dibuat dari sebatang kayu kecil dan tali nilon. "Itu jerat landak dan kancil," kata Bobo, teman Darwis.      Hari sudah mulai gelap walau jam ditangan baru menunjukkan jam empat petang. Kami mempercepat langkah untuk segera kembali ke tempat di mana mobil dan sopir menunggu. Tanpa terasa sudah lima kilometer lebih kami mengintari hutan Nalotantan dengan berjalan kaki. Kami berhenti sejenak melihat tiga potong batu menyerupai kayu log sebesar drum. Rupanya itu adalah posil kayu sungkai yang sudah menjadi batu.      Kamipun duduk santai di atas posil kayu berwarna hitam itu sambil bergantian memotretnya dengan kamera saya. Tiba-tiba saya baru merasakan perih di kaki hingga betis. Rupanya puluhan ekor binatang bernama pacet sudah bunting menghisap darah di kaki saya. Kejadian itu juga menimpa teman-teman yang lain. Setidaknya, hari itu kami sudah donor darah untuk pacet hutan Nalotantan.      Kamipun mendapat berita dari pesan SMS, rupanya regu pertama yang masuk dari arah utara sudah kembali ke hotel. Mereka terpaksa menghentikan kegiatan survei karena mendapat pengusiran dari beberapa warga setempat. Ternyata, sebelum tim ekspedisi ini datang, sudah tersiar cerita bahwa masyarakat pemilik kebun akan mendapatkan biaya konvensasi jutaan rupiah bagi kebunnya yang terkena survei.       "Itu informasi yang keliru, dan tidak mungkin tim geologi memiliki  sumber dana untuk hal seperti itu. Kami ini tim peneliti, bukan pengusaha tambang," ungkap Pak Cecep dengan nada kecewa. Pakar geologi ini pun akhirnya menjelaskan, kejadian seperti ini baru pertama kali dialaminya. "Kalau di tempat lain malah masyarakatnya merasa senang lahannya disurvei karena baginya bisa memberi harapan yang besar pada masa yang akan datang," ujarnya.      Untung kesalahpahaman itu bisa diselesaikan oleh kepala desa setempat. Kegiatan survei dapat dilakukan kembali esok hari.   Di hotel kami banyak berdiskusi dengan geolog yang juga berprofesi sebagai dosen ini. Menurutnya, di Merangin potensi kandungan batubara amat sedikit. Rata-rata hanya dengan ketebalan dua hingga tiga meter dengan luas pormasi hanya beberapa ratus meter saja.       Tentu saja hal ini kurang ekonomis. Apalagi dengan jauhnya lokasi tambang dan dermaga. Belum lagi persoalan carut-marutnya kebijakan pemerintah daerah soal jalan. Rencana pengerukan Sungai Batanghari atau pembangunan jalan alternatif entah kapan akan terwujud.  Wajar saja bila masyarakat Jambi saat ini berpendapat, tambang batubara lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. ***       (Naskah ini sudah dimuat di halaman 1 Harian Tribun Jambi edisi Senin 19 Maret 2012)                                    

Sabtu, 10 Maret 2012

SENTILAN BANG DORI (1)

"Absen menjadi wartawan bisa aku lakukan walau tidak tahu sampai kapan. Tetapi absen menulis serasa sulit karena menulis bagiku bagai mendengar alunan musik..mengalir ke dalam jiwa..sampai jauh.." Itulah sebait kalimat yang saya tulis di profil akun facebook sejak absen sebagai jurnalis beberapa tahun silam. Hari  ini kegelisahan itu menyeruak. Saya tak kuasa menahannya. Puluhan tahun mendapat nafkah dari merangkai kata reportase hingga cerpen dan puisi. Terima kasih kepada redaksi koran ini, memberi ruang untuk saya berapresiasi, merangkai kata yang mungkin membuat pembaca tersinggung. Maafkan saya. Hari ini. Seketika rasa bangga saya terhadap Tebo sebagai "kota sejarah" --yang berkonotasi menyimpan kekayaan historis,  bersih, indah dan nyaman--menjadi sirna saat melihat kotoran sapi di mana-mana. Seolah, kota kecil ini menjadi WC umumnya para sapi, kerbau dan kambing. Saya tidak mengerti, kenapa semua orang menjadi acuh. Apakah para binatang itu yang harus lebih dulu diberi pendidikan etika misalnya, baru kemudian sanksi bisa ditegakkan? Atau kita yang tidak beretika lantaran sudah terbiasa menyaksikan sapi buang hajat dan orgasme melototi bokong seksinya? Ah..ini yang membuat saya masgul. Kini saya sedang bermimpi. Sebentar lagi kotaTebo siap berdandan. Jalan dua jalur yang mulus, lampu taman yang unik, trotoar dan selokan yang rapi, pohon pelindung dan tanaman hias di mana-mana. Turap Tanggo Rajo menjadi tempat bersantai yang  indah. Gemerlap lampu malam yang memantul ke Sungai Batanghari, menandakan; masyarakat Tebo memiliki jiwa estetika yang tinggi. Dalam mimpi saya, kian banyak yang sadar--kebersihan kota adalah cermin keimanan. Menurut saya, Pemkab Tebo harus tegas. Ternak yang berkeliaran cepat ditangkap. Bila tidak ada pemiliknya yang bertanggungjawab, boleh diberikan kepada desa lain yang lebih membutuhkan.  Atau disembelih dan dagingnya untuk fakir miskin agar anak-anak mereka bergizi. Tentu harus punya dasar hukum yang jelas serta mentalitas petugas yang kuat. Saya sangat tidak yakin kita telah kehabisan solusi untuk mengatasi hal ini. Saya bukan menggurui. Menjiwai etika dan estetika menjadi wajib tatkala  kita sepakat ingin wajah Tebo berubah. Bersyukurlah, Tebo tidak berdiri di atas tanah tandus dan kosong. Tebo ada setelah para pejuang menulis riwayat hidupnya dengan darah dan air mata. Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin menjadi saksi bisu dalam babad sejarah keberadaan Tebo yang kini telah menjadi kabupaten. Sungguh, kita tidak punya etika sedikitpun bila ceceran darah, nyawa dan air mata mereka kita balas dengan onggokan kotoran sapi di mana-mana--hingga ke makam sang pahlawan. Tebo harus bangkit menggapai perubahan. Tebo tidak boleh santai, tidak boleh lelet dan harus bekerja keras  bila ingin mengejar ketertinggalannya. Tidak ada yang sulit bila memiliki kemauan yang kuat. Kecuali estetika warga Tebo yang rendah dan lebih suka bergunjing ketimbang memperindah lingkungannya. Salam perubahan!    (naskah ini sudah dimuat Radar Tebo edisi Senin, 27 Maret 2012)

SENTILAN BANG DORI (2)

Apa saja sih kekayaan alam Tebo? tanya seorang pengusaha sukses kepada saya di Jakarta belum lama ini. Langsung saya jawab begini, apa saja ada; lahan yang luas, batubara, minyak bumi dan sejumlah kekayaan alam lainnya. Kami juga punya taman nasional, beberapa air terjun, danau dan sejumlah objek wisata alam serta beraneka flora dan fauna, jawab saya dengan bangga. Wah..hebat dong. Lantas, kenapa penduduknya masih miskin, kenapa Tebo tidak pernah mencuat prestasinya ke kancah nasional? tanyanya lagi kepada saya. Sejenak saya terdiam. Dalam hati saya, orang ini pasti banyak tahu soal Tebo. Belum sempat saya menjawab lagi, sang milioner ini langsung nyerocos sambil menatap tajam. Anda tahu kan? Kekayaan alam itu anugerah Tuhan yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Anugerah itulah yang harus dikelola untuk kemakmuran umat. Ibarat sebuah produk industri, semua kekayaan alam itu harus laku. Agar laku, kita harus punya tenaga marketing yang hebat, sistem manajemen yang profesional dan terukur. Bersyukurlah kepada Tuhan, daerah Anda memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pesan saya, kata pria yang kerab nongol di televisi ini, jangan sampai seperti tikus mati di lumbung padi. Bukan mati kekenyangan tetapi mati kelaparan karena tidak tahu bagaimana menjadikan padi itu menjadi beras lalu ditanak menjadi nasi. Ia pun tertawa, dan saya tersenyum kecut. Di akhir pembicaraan dia bilang begini, kalau daerah Anda mau maju harus bisa mengundang kedatangan banyak orang. Keragaman dunia usaha dan investasi harus terus ditumbuhkembangkan, dan jangan ada yang memonopoli. Daerah tidak akan bisa mengelola potensinya sendiri tanpa campur tangan swasta. Tetapi harus ada regulasi dan kebijakan yang jelas; tidak membuat pengusaha menjadi ragu, kapok, lalu pergi tanpa jadi berinvestasi. Dalam dua pekan terakhir ini, hampir tiap hari saya mendapat email dari Tung Desem Waringin. The most powerful people and ideas, itu sangat populer dengan sebutan TDW. Dalam salah satu surat sang motivator keturunan china itu mengatakan, banyak orang gagal menuju sukses lantaran hal sepele--tidak mau mengaktualisasikan potensi dirinya dan hanya disibukkan dengan hal yang tidak penting. Padahal, kata TDW, tiap orang sudah diberi anugerah yang luar biasa. Orang yang cacat fisikpun masih bisa sukses. Ungkapan TDW itu mengingatkan saya akan seorang artis Daus Mini. Dengan keterbatasan fisiknya yang mungil, ia justru berhasil mendapatkan seorang istri yang tinggi dan cantik. Kini mereka telah dikaruniai seorang anak yang sehat. Semua karena kemampuan mengaktualisasikan potensi dirinya hingga iapun sukses secara finansial. Lalu saya teringat lagi dengan Suparwono. Manusia tertinggi nomor tiga di dunia asal Tulangbawang, itu sempat dijadikan ikon wisata Lampung dan terus ngetop oleh liputan media. Tetapi ia belum bisa beranjak dari gubuk sederhana milik orang tuanya, hingga ajal menjemputnya. Saya hanya ingin mengatakan, Tebo yang kaya sumber daya alam, seharusnya sudah menikmati pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Usia muda--baru dua belas tahun--sangatlah klasik dan kemunduran pola pikir bila itu yang menjadi alasan. Kalau kita bisa menggapai kemajuan itu dengan cepat, kenapa harus menunggu setelah tua? Rakyat Tebo sudah capek hidup serba terbatas. Mungkin benar apa yang dikatakan Jusuf Kalla; lebih cepat !! (naskah ini sudah dimuat di harian Radar Tebo, Senin 5 Maret 2012)

SENTILAN BANG DORI (3)

                                     Syahdan, di sebuah negeri antabarantah. Hiduplah seorang raja muda yang amat kaya. Suatu hari ia minta ditukar pengawal pribadinya dengan yang baru. Oleh para menteri disediakanlah dua orang satria untuk dipilih sang raja. Kedua jagoan itu bernama Ruka dan Ruki. Mereka dua bersaudara yang tidak tertandingi. Setelah menerima masukan dari banyak pihak, akhirnya sang raja memilih Ruka sebagai pengawal pribadinya. Ruki merasa iri dan mulai berusaha mempengaruhi pihak istana dengan terus menerus melancarkan fitnah tentang Ruka.  Masa lalu Ruka memang kelam. Ia pernah menjadi pembunuh bayaran. Tetapi akhirnya insaf dan lebih suka berbuat kebajikan. Ia tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan kebenaran. Jangankan membunuh manusia, membunuh lalat pun ia tidak tega. Kesetiaannya kepada sang raja telah berulangkali dibuktikannya.  Tetapi si licik Ruki tidak pernah menyerah. Dia sangat pandai mengarang cerita tentang kejelekan kakaknya itu. Singkat cerita, sang raja mulai terpengaruh dan selalu curiga terhadap apapun yang dilakukan Ruka. Meski Ruka tidak dipecat, tetapi tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam istana. Dia hanya diberi tugas mencabut rumput dan memberi makan kuda pacuan. Suatu hari kuda pacuan kesayangan raja mati diracuni Ruki. Namun tak seorang pun yang tahu, kecuali Ruka. Ruka sudah berusaha membela diri dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tetapi sang raja terlanjur murka dan langsung mengusir Ruka dari negeri tersebut. Sejak itu, sang raja selalu diliputi rasa ketakutan dan cemas. Ia sulit sekali percaya pada orang lain. Setiap ada bisikan yang tidak baik, ia langsung percaya. Lama kelamaan orang-orang dekatnya mulai menjauh dan berkurang karena dipecat tanpa alasan yang jelas. Kini suasana istana tampak sepi dan tidak lagi hangat seperti dulu. Orang-orang yang tadinya amat setia dengan raja tidak lagi berani mendekat. Para menteri dan penasehat raja juga tidak mau banyak bicara. Mereka takut disalahkan dan dipecat. Diantara merekapun sudah saling curiga. Perpecahan tidak bisa dihindari. Raja kian bingung tiap kali menghadapi masalah dan tidak tahu harus bicara dengan siapa. Dia seperti berjalan di lorong gelap. Bila melangkah, kakinya tersandung sesuatu dan kepalanya membentur tembok. Ia ingin sekali keluar dari penderitaan itu tapi tak kuasa. Akhirnya sang raja mengasingkan diri ke hutan, lalu mati dimangsa hewan buas tanpa ada yang tahu. Cerita ini terilhami setelah saya membaca buku Mind Power Skills-nya Dr Ibrahim Ekfiky. Dalam buku internasional bestseller, itu menyebutkan, sejatinya pikiran negatif itu lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan. Ia merangkai hidup ini menjadi mata rantai penderitaan. Perasaan negatif, perilaku negatif, dan hasil yang negatif seperti sakit jiwa, sakit fisik, kesepian dan ketakutan.  Saya melihatnya seperti gigitan ular. Sangat menyakitkan tapi tidak mematikan. Yang mematikan adalah racun yang mengalir ke peredaran darah. Begitu pula dengan pikiran negatif; ia hanya bisikan yang muncul dalam diri seseorang. Yang membahayakan adalah penumpukkan pikiran dalam memori hingga menjadi kebiasaan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya. Itulah kenapa penderitaannya tiada berakhir. Semoga ini berhikmah. (naskah ini sudah dimuat di Harian Radar Tebo, Senin 12 Maret 2012)

Tim ekspedisi takut harimau (1)

Hari ini, Sabtu 10 Mei 2012, adalah hari kedua kami melakukan survei ke lokasi kuasa pertambangan batubara di kabupaten merangin, Jambi. Kegiatan ini kami sebut dengan coal expedition nalotantan. Nalotantan adalah nama kecamatan dan sebahagian besar terdiri kawasan hutan belukar dan perkebunan rakyat. Sebenarnya lokasi yang akan disurvei juga meliputi sebagian kecil wilayah yang masuk dalam kecamatan Batangmasumai. Kami mulai menuju lokasi jam 9 setelah sarapan pagi di rumah makan dendeng batokok. Sambil menunggu pelayan menyiapkan 20 bungkus nasi berikut rendang, kamipun sarapan dengan lahap. Maklum, fisik harus kuat karena info yang kami dapat, medan hutan yang akan ditempuh lumayan berat dan terjal. Hampir sebahagian besar wilayah kabupaten Merangin bertopografi berbukit karena hampir mendekati kawasan bukit barisan dan taman nasional Kerinci seblat. Setelah sampai di desa danau, rombongan mulai terpisah. Regu pertama dipimpin Pak Zainul dengan satu orang tenaga geologi dari Bandung. Tugas mereka menyisir kawasan selatan, dengan lebih dulu meniti jembatan gantung sekitar 25 meter. Jembatan ini sudah cukup tua dan harus waspada. Regu kedua terdiri dari saya sendiri, Hendra, Cecep geologi dari Bandung dan dua orang penunjuk jalan dari desa sekitar. Jujur, saya amat takut mengikuti rute regu kedua ini. Beberapa minggu sebelum kami datang, penduduk setempat dihebohkan dengan peristiwa terbunuhnya seorang petani oleh dua ekor harimau Sumatera. Saat ditemukan, tubuhnya sudah habis dilahap hewan buas tersebut dan kepalanya sudah terpisah dari badan. Hinggap kini kawanan hewan yang dilindungi itu belum berhasil ditangkap. Berbekal keyakinan, akhirnya kami sampai di desa nalobaru dan tidak berapa lama masuk ke kawasan hutan karet tua. Lama kelamaan kebun karet tidak tampak lagi dan berganti kawasan hutan yang lumayan lebat. Selain jalan berlumpur, mendannya cukup terjal. Mobil dobel kabin yang kami pakai terpaksa berhenti karena jembatan darurat dari kayu yang ada sudah patah. Hampir satu jam kami memperbaikinya dan perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Tetapi hanya tiga kilometer, kami terpaksa harus berjalan kaki lantaran mbol tidak bisa melewati sungai yang cukup lebar dan curam. Belum lagi reda rasa pegal dan nafasnya tersengal berat setelah mendaki bukit terjal, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara segerombolon burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan unggas langka itu terkejut dengan kedatangan kami. Tapi dalam hati ini ada rada kurang enak. Seolah ada semacam isyarat alam yang kurang baik...(bersambung)

Jumat, 09 Maret 2012

Ikan semah ikan terlezat

Ikan semah. Itulah yang saya ketahui namanya. Saya pun tidak tahu apa nama lainnya. Bagi masyarakat Jambi, ikan semah adalah ikan yang paling lezat. Jangankan dagingnya, sisiknya pun bisa digulai dengan santan, atau digoreng menjadi kerupuk. Pertama kali saya mengenal ikan ini saat makan di sebuah restoran sederhana di desa Sungaimanau dalam perjalanan ke Kabupaten Kerinci sepuluh tahun silam. Dibanding ikan air tawar lainnya, rasanya memang beda dan menurut saya amat lezat sekali. Mungkin karena ikan ini hidup di sungai pedalaman dan di danau-danau dingin di kaki pegunungan. Bentuknya mirip ikan kelemak. Ukurannya normal saja, sama halnya dengan ikan emas dan nila. Saya makan habis tiga potong. Harganya sedikit mahal dari ikan biasa. Lima tahun lalu, saat saya melakukan perjalanan dari Jambi ke Bangko, kembali ikan lezat itu saya temukan di rumah makan pasar bawah kota Bangko, sekitar enam jam sebelum mencapai Kerinci. Bersama saudara saya Kamal Saleh dari Jakarta, ikan tersebut kami habiskan hingga sepuluh potong. Kamal memang agak rakus dengan ikan. Ternyata ikan ini tidak gampang ditemui di tiap rumah makan. Apalagi di tempat tinggal saya di kota Jambi. Sesuai asalnya, dia hanya hidup di perairan yang bersih dan jernih. Makanannya lumut dan plangton-plangton air. Hari ini, 9 Matet 2012, saat saya berada di kota Bangko karena urusan bisnis, tiba-tiba saya ditelepon Kamal Saleh. "Kamu di Bangko ya..wah jangan lupa ikan semah dong," ujarnya dari jauh. Saya terperanjat dan langsung menuju Pasarbawah. "Maaf Pak, ikan semah sudah lama hilang, tak pernah ditemukan lagi," ujar pemilik rumah makan, tempat kami duli melahap rakus ikan aneh itu. Dalam perjalanan survei batubara di hutan-hutan Bangko, saya lihat semua air sungai keruh. Di hulu, banyak sekali penambang emas liar menggunakan mercuri. Ah..semahku sayang..semahku malang..