Rabu, 15 Agustus 2012

Orang Rimba = Suku Kubu (Part III)

Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.
Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)
Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Naskah ini disalin dari http://uun-halimah.blogspot.com tanggal 14 Agustus 2012.

Selasa, 14 Agustus 2012

Orang Rimba = Suku Kubu (Part II)

Asal Usu Berdasarkan Kelisanan : Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu.
Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.
Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).
Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.
Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung waris.
Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:
“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ....”. Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.
Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, .... dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.
Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).

Orang Rimba = Suku Kubu (PART I)

SELAKU anak Jambi yang lahir di pedesaan di Kabupaten Tebo, sejak kecil saya sudah mengenal siapa itu Orang Rimba. Istilah "Orang Rimba" sebenarnya baru diperkenalkan 12 tahun terakhir oleh para peneliti dan beberapa NGO yang menyebut istilah "Suku Kubu" bagi kelompok masyarakat yang tinggal di hutan itu tidak manusiawi dan sangat memarginalkan mereka. Sebab makna kata "kubu" identik dengan kejorokan, dekil, pemalas dan tertutup karena tidak mau bergaul dengan masyarakat lain. Tetapi di kampung saya, sebutan untuk mereka adalah "Sanak" yang artinya adalah keluarga. Memang, di mana-mana suku ini lebih senang dan merasa terhormat bila disapa "Sanak", tetapi entah mengapa para peneliti lebih suka mempopulerkannya dengan sebutan "Orang Rimba", jangan-jangan mereka ingin hasil penelitian maupun NGO-nya cepat top karena orang asing pasti cepat tertarik karena mirip dengan sebutan "Orang Utan". Banyak sekali naskah hasil penelitian, tapi yang satu ini lebih menarik perhatian saya dan ingin saya persembahkan untuk pembaca :            
PROVINSI JAMBI adalah sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Suku Kubu. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, Merangin dan Batanghari. Ini artinya hanya Kota Jambi, Kerinci, Tanjungjabung Barat serta Kabupaten Tanjungjabung Timur yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’--1º58’ Lintang Selatan dan 102º32’--102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.

Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2--40º Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50--438 meter dari permukaan air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih 438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas, juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.

Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang berada di bagian selatan.



Senin, 06 Agustus 2012

www.doribae.com

Ceritonyo ado2 bae (ada2 saja ceritanya)  sebentar lagi melesat di dunia maya...

Rabu, 01 Agustus 2012

Bom Meledak, Bupati Datang

INI ADALAH  cerita tertinggal selama tiga hari saya dirawat di RSUD Hanafie Muarabungo akibat penyakit batu ginjal. Selain merasakan sakit yang luar biasa akibat batu keparat yang bersarang di ginjal sebelah kiri (ini ketahuan setelah cek up di MMC), saya juga merasakan perut kembung yang sangat tidak nyaman. Saya pastikan ini gara-gara setelah perawat memasukkan  obat penahan sakit lewat anus saya saat malam pertama saya dirawat di rumah sakit itu. Rasa sakit memang sedikit berkurang tapi sejak itu pula saya tidak bisa kentut alias buang angin. Mungkin Anda bisa membayangkan bagaimana rasanya perut kembung dan tidak bisa kentut selama dua hari...hehehehehe

Sehabis magrib, istri saya buru-buru melaporkan perihal penting ini ke perawat di ruang jaga. Mereka bilang saya harus bersabar menunggu obat yang nanti akan diantarkan langsung ke kamar. Tetapi saya sudah tidak sabar, dan sesuai anjuran istri saya juga, saya disuruhnya terlungkup seperti tentara tiarap untuk beberapa saat lalu nungging seraya menekan otot perut dari dalam. Berulangkali "resep" ini saya lakukan, hingga entah kali berapa akhirnya "bom" maut itu langsung meletus, dan dapat pula Anda bayangkan betapa "sedapnya" aroma ruangan 3 x 3 meter itu..hehehehehe

Saya benar-benar merasa lega. Spontan istri dan anak-anak saya tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup hidung mereka. Tetapi tawa kami langsung tersenyap saat tiba-tiba menyaksikan pintu kamar sudah terbuka dan di depan pintu sudah berdiri seorang pria ganteng berbadan tegap sambil mengucapkan salam. Di belakangnya berdiri seseorang yang saya ketahui itu adalah sopirnya sambil membawa keranjang kecil berisi buah-buahan. Pria ganteng itu tidak lain adalah H. Sukandar, Bupati Kabupaten Tebo. Tebo adalah kabupaten tetangga Muarabungo lebih kurang satu jam perjalanan. Seketika istri saya langsung menyambutnya. "Aduh..maaf pak bupati, mari silahkan masuk..ini abang baru saja buang angin", ujar istri saya terbata-bata.

Sepertinya sang tamu juga sedang mencium bau tak sedap itu. Sayapun ikut merasakan malu dan gugup. "Ah gak apa-apa ibu, untung bisa keluar anginnya, kalau nggak ntar biaya berobatnya bisa lebih besar lagi," balas sang bupati dengan gaya bicaranya yang amat bersahabat dan penuh kekeluargaan.  Suasanapun menjadi cair dan kamipun akhirnya bicara akrab dengan sang bupati yang biasa saya sapa dengan sebutan Mas Sukandar. Sejak ikut menjadi tim suksesnya setahun lalu hingga akhirnya dia terpilih menjadi bupati, saya dan keluarga memang cukup akrab dengan perantau dari Jawa yang menjadi bupati di salah satu kabupaten di Jambi tersebut. 

Sebagai keluarga yang hidup amat sederhana seperti kami, maka kedatangan tamu istimewa seperti bupati tentu amatlah menyenangkan sekaligus membanggakan. Entah kenapa, sejak itu pelayanan di rumah sakit tersebut berubah menjadi lebih baik kepada saya. Obat-obatan tidak lagi datang terlambat, semua perawat yang memeriksa saya penuh senyum manis, dan perlahan rasa sakit yang saya rasakan mulai berkurang. Keesokan harinya saya langsung chek out untuk melanjutkan berobat ke MMC yang tidak jauh dari rumah saya di Kota Jambi.  Terima kasih Pak Bupati, dan terima kasih yang tulus juga kepada dr Topan dan para perawat di RSUD Hanafie.


Sabtu, 28 Juli 2012

Catatan Chudori: Ada batu di ginjalku

Catatan Chudori: Ada batu di ginjalku: Rabu sore, tepatnya tanggal 11 Juli 2012, saat sedang berkunjung ke rumah orang tua saya di Desa Sungaibinjai, Kabupaten Bungo, tiba-tiba sa...

Senin, 23 Juli 2012

Ada batu di ginjalku

Rabu sore, tepatnya tanggal 11 Juli 2012, saat sedang berkunjung ke rumah orang tua saya di Desa Sungaibinjai, Kabupaten Bungo, tiba-tiba saya merasakan sakit perut yang amat luar biasa. Pinggang saya terasa panas dan muntah-muntah seakan tak pernah mau berhenti untuk menguras seluruh isi perut saya. Peristiwa ini dipicu setelah saya menyantap habis satu porsi martabak india pakai kuah kari daging sapi. Sebetulnya tidak terlalu pedas, kecuali ada sedikit irisan cabe rawit, bawang merah dan sedikit cuka makan dicampur kecap manis sebagai sausnya. Sehari sebelumnya, saya memang  makan gulai jengkol dan membuat pinggang saya terasa hangat dan sengal-sengal.

Akibat rasa sakit yang luar biasa itu, akhirnya saya digotong ke tempat praktek dokter Topan di Pasar Muarabungo. Betapa terkejutnya saya saat hasil USG dokter spesialis penyakit dalam tersebut menyebutkan bahwa ada batu di ginjal saya sebesar biji kacang tanah. Kata dokter itu, posisi batu sudah berada di kantong kemih, dan itulah sebabnya kenapa saya merasakan sakit yang luar biasa akibat makan jengkol dan saus martabak india tadi yang mengandung cuka dan cabe rawit. Inilah pemicu sehingga saya akhirnya dirawat selama tiga malam di RSUD Hanafie Muarabungo.

Keesokkan harinya saya dironsen dan ternyata memang ada bulatan putih sebesar biji kacang tanah di sekitar kantong keming bagian bawah, sepertinya tidak jauh dari saluran kemih. Betapa ngerinya saya dan sangat tidak bisa terlukiskan betapa sakitnya tatkala nanti batu itu berangsur ke luar melalui saluran kemih saya yang diamaternya sangat tidak sebanding dengan ukuran batu keparat tersebut. Saya benar-benar merasa terpukul oleh penyakit ini, apalagi saat merasakan saya semakin sulit kencing dan selalu mengandung darah dalam cairan kemih saya. Oh...Tuhan,  saya merasa hidup ini sudah tidak berapa lama lagi akan berakhir saat saya membayangkan betapa menderitanya seseorang yang mengalami kerusakan ginjal alias gagal ginjal.

Barulah setelah istri dan anak-anak saya jauh-jauh datang dari Kota Jambi, perasaan saya sedikit terhibur. Melihat wajah orang-orang yang saya cintai itu membuat saya mulai kuat lagi untuk terus bertahan dan senantiasa berpura-pura tidak sakit dihadapan mereka. Sesunggunya saat saya mau menginjakkan kaki ke lantai untuk menuju kamar mandi saja rasanya sudah tidak kuat lagi tubuh ini untuk berdiri, tetapi saya paksakan terus dan selalu berusaha untuk tersenyum di hadapan wajah-wajah yang penuh dengan kecemasan itu. Tiga hari dirawat seadanya, saya tidak merasakan perubahan yang berarti kecuali rasa sakit di perut dan pinggang mulai berkurang. Sementara batu tersebut masih bersarang dalam perut saya.

Akhirnya saya dan keluarga memutuskan untuk kembali ke Kota Jambi. Selama enam jam pernjalanan darat, sungguh bukan sesuatu yang amat menyenangkan bagi seorang penderita batu ginjal seperti saya.Tetapi saya berusaha untuk senantiasa terlihat tegar dan kuat di mata keluarga. Laki-laki tidak boleh cengeng, itulah yang selalu saya ajarkan kepada anak-anak saya.  Di rumah, keceriaan selalu saya upayakan dengan cara mengajak anak-anak bercanda seperti biasa. Tetapi istri saya tahu bahwa sesungguhnya jiwa dan bathin saya menderita. Kami tahu bahwa ini adalah penyakit serius dan butuh biaya yang tidak sedikit untuk mengobatinya. Tiga hari kemudian, tepatnya malam pertama bulan suci Ramadhan 1433 Hijriah, saya dan istri memberanikan diri ke tempat praktek spesialis urologi di Mayang Medical Center (MMC), satu-satunya ahli urologi di Jambi. Sejujurnya, kami tidak mempunyai cukup uang, apalagi saya hanya bekerja di sebuah perusahaan kecil yang saat ini belum memiliki banyak proyek.  Ternyata benar dugaan kami, uang yang kami miliki malam itu hanya cukup membayar dokter dan menembus resep, sedangkan untuk ronsen lengkap dan sebagainya terpaksa kami tunda dulu. Apalagi rencana dokter itu untuk melakukan tindakan ESWL atau oprasi, kami belum bisa menyanggupi total angka puluhan juta rupiah itu.

Di rumah, istri saya bilang, ayah harus berobat dan teruslah berobat sampai sembuh. Janji ayah membeli baju koko dan sarung baru untuk anak-anak shalat taraweh tunda saja dulu, baju lebaran dan kuae-kue gak usaha dipikirkan, lagi pula lebaran masih lama. Yang penting sekarang ayah harus sehat seperti dulu lagi. Ooh...Tuhan, tanpa terasa air mata ini menetes ke pipi, sesuatu yang amat jarang bahkan belum pernah terjadi sejak saya dewasa, begitu pula merasakan dirawat dan diinfus di rumah sakit, seumur hidup baru inilah saya alami. Jangankan polis kesehatan asuransi atau tabungan puluhan juta rupiah, harta yang pantas untuk dijualpun kami tidak punya selain rumah tipe 36 yang sudah 12 tahun kami huni. Mobil kantor tidak mungkin bisa dijual, apalagi sepeda motor yang belum selesai masa kreditnya. Pensiun sebagai wartawan dengan masa kerja 20 tahun, tidak membuat saya memiliki tabungan dan harta yang banyak. Tetapi saya puas dan bangga dengan ketiadaan ini karena tidak ada yang tersakiti oleh saya hingga profesi mulia itu saya tinggalkan sejal lima tahun silam.

 Saat menulis di blog ini, saya hanya berdoa dan terus berharap adanya keajaiban dan mukjizat dari Allah SWT yang dengan cara apapun bisa menyembuhkan penyakit di tubuh ini. Rasa perih dan sulitnya buang air kecil masih terus saya rasakan. Saya kian gundah setelah dokter urologi di MMC bilang bahwa batu ginjal saya sebenarnya belum di kantong kemih tetapi masih berada di ginjal sebelah kiri. Jadi masih perlu perawatan insentif dan sungguh-sungguh. Saya mengerti betapa buruk efeknya bila saya tidak segera mengambil tindakan. Tetapi apa yang bisa saya lakukan? Jangankan untuk bekerja keras mencari tambahan penghasilan, membawa mobil ke kantor saja terkadang saya harus berkeringat dingin menahan sakit. Bila membawa beban berat, maka air kemih saya akan kemerahan seperti air putih bercampur darah.

Adakah diantara pembaca yang memiliki saran terbaik buat saya? Mungkin ada resep herbal yang amat mujarap yang pernah Anda ketahui dari orang lain. Saya tunggu kebaikan hati Anda di halaman ini, Terima kasih tiada terbalas dari saya. Semoga Anda tidak akan pernah mengalami penyakit seperti saya.Wassalam!




Senin, 19 Maret 2012

Ekpedisi Geologi Sumay-Nalotantan

     Bertualang ke hutan bukanlah pekerjaan mudah. Selain persiapan mental dan kekuatan fisik, juga harus memiliki peralatan navigasi yang cukup, dan saya hanya bermodalkan nekat.      Bila dua bulan lalu saya ikut bertulang ke pedalaman hutan Sumay di Kabupaten Tebo, kali ini, pertengahan Maret, saya kembali nekad mengikuti Coal Expedition Nalotantan bersama Bapak Cecep S Hidayat, seorang ahli geologi dari LAPI ITB Bandung. Bagi saya, lebih tepat menyebutnya dengan Geo Wisata Nalotantan.      Sebelum saya berkisah tentang ekspedisi Nalotantan, saya ingin sedikit menceritakan Coal Expedition Sumay. Sebetulnya, ke pedalaman Sumay tidak ada yang istimewa. Kawasan ini sesungguhnya tidak ada lagi hutan. Yang ada adalah hamparan puluhan ribu hektare perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri milik "raja HTI" Sinarmas Group.      Pemadangan ini justru membuat saya sedih manakala menyaksikan masyarakat sekitar kesulitan mencari lahan untuk berkebun. Selain rata oleh perkebunan swasta, penetapan tapal batas kawasan Hutan Produksi (HP) oleh Pemerintah sudah sampai ke belakang dapur dan pemakaman umum.      Konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan perambah liar yang datang dari luar Jambi sudah lama berlangsung di Tebo. Pertikaian hebat pecah dua bulan lalu antara perambah liar (penduduk setempat menyebutnya dengan istilah pendatang haram) dengan PT Lestari Asri Jaya. Tidak sedikit yang terluka bahkan ada yang tewas pada pertikaian itu.      Persoalan tumpang tindih perizinan, bukan hal aneh di Tebo. Dari 62 izin eksplorasi tambang batubara, mayoritas berada di kawasan hutan HP. Bahkan ada yang masuk kawasan HTI dan HPL yang sudah dikeluarkan izin perkebunan. Inilah faktor utama kenapa hanya empat buah saja pemilik tambang di Tebo yang produksi. Selebihnya masih "terperangkap" dalam kemelut tumpangtindih perizinan serta kesulitan mendapatkan izin pinjam pakai hutan HP. Padahal potensi kandungan batubara di daerah ini sangat besar, lebih dari cukup membuat Tebo kaya.       Menurut saya, perjalanan ke belantara Nalotantan Kabupaten Merangin jauh lebih menarik dan penuh tantangan. Sebagai pemandu tim geologi, saya benar-benar ingin menikmati petualangan ini. Menurut data, potensi kandungan batubara di Merangin memang minim dibanding Kabupaten Bungo, Tebo, Tanjab Barat, Sarolangun, Batanghari dan Muaro Jambi.       Sungguhpun begitu, Merangin termasuk penghasil tambang biji besi terbesar di Jambi. Kawasan ini terletak di bagian utara Merangin, merupakan bagian dari lereng Bukitbarisan. Namun izin usaha pertambangan yang ada semuanya berada dalam kawasan hutan penggunaan lain (HPL).  Kondisi ini amat jauh berbeda dengan Kabupaten Tebo yang izin tambangnya berada di kawasan hutan HP.             Kami mulai melakukan kegiatan survei pada Sabtu 10 Maret 2012 lalu.  Setelah sarapan pagi di sebuah rumah makan dan menyiapkan bekal makan di hutan, kami segera memulai perjalanan pada jam 9 pagi. Tim dibagi dua regu. Regu pertama masuk dari arah utara melalui Desa Danau dan lebih dulu meniti jembatan gantung yang sudah mulai rapuh. Tim ini dipimpin Zainul serta seorang ahli geologi dan beberapa kru penunjuk jalan dari desa setempat.      Sedangkan saya mengikuti regu kedua yang dipimpin Pak Cecep. Tim ini akan menyisir kawasan selatan Nalotantan yang berbatasan dengan hutan Sungaimanau. Jujur, sebenarnya saya amat takut menyertai regu kedua ini. Selain medan yang akan ditempuh cukup berat, di kawasan ini diperkirakan masih banyak binatang buas seperti harimau. Buktinya, dua bulan lalu, seorang penyadap karet tewas hingga kepalanya terpisah dari badan setelah dimangsa habis kawanan raja hutan Sumatera tersebut.      Setelah satu jam perjalanan dari Desa Danau, mobil dua kabin 4x4 yang kami gunakan sampai ke Desa Nalobaru. Di sini kami menjemput Darwis, seorang guide yang sangat hapal dengan hutan sekitar itu.  Perjalanan dengan mobil akhirnya terhenti setelah kami menemukan jembatan patah. Satu jam kami memperbaiki jembatan darurat tersebut, baru perjalanan bisa dilanjutkan.      Hanya lebih kurang 300 meter kami meninggalkan jembatan tadi, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan lagi.  Ada sungai kecil tapi cukup curam dan memaksa mobil harus parkir di situ. Berjalan kaki, itulah yang harus kami lakukan untuk bisa mencapai lokasi titik singkapan batubara yang pernah ditemukan penduduk seperti Darwis.       Tanjakan terjal membuat nafas kami amat tersengal hingga ke puncak bukit. Awalnya kami masih menemukan kebun karet tua milik penduduk. Lama kelamaan pohon karet tidak ditemukan lagi. Kami mulai masuk kawasan hutan belukar yang lumayan lebat dan dingin. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara gemuruh burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan itu terkejut dengan kedatangan kami.      Namun hati ini berkata lain, seolah ada isyarat yang kurang baik. Mulutpun terus komat-kamit membaca doa. Sekali lagi, jujur, saya amat takut dan bulu kuduk terus merinding. Karena saya amat menyukai suara burung, maka kicauan aneka burung di hutan itu sedikit membuat saya terhibur dan melupakan rasa takut. Pak Cecep, geolog yang separuh hidupnya berada di hutan Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, terus mengamati peralatan navigasi dan mencatatnya.     Darwis, yang bergerak lincah bagaikan seorang Tarzan, membuat kami cukup kewalahan mengikutinya. Akhirnya dia menemukan sungai kecil dan memberi tahu kami ada singkapan batubara di dasar sungai tersebut.    Setelah mengamati, mencatat dan mengambil contoh untuk dibawa, kami segera bergerak mengikuti langkah Darwis. Pria berusia 30-an tahu ini bercerita, sebenarnya yang menemukan pertama kali ada potensi batubara di hutan itu adalah Arifin yang kini sudah berusia 70 tahun.       Arifin yang tak lain adalah orangtua Darwis, saat itu berusia sekitar 25 tahun dan gemar berburu kancil dan rusa. "Tiap kali menemukan benda aneh ini ayah selalu bercerita pada ibu hingga saya dewasa kerap diajaknya ke hutan," kisah Darwis sambil menimang-nimang bongkahan benda hitam itu di tangannya. Pemuda berbadan tegap itu sangat berharap penambangan segera dilakukan karena ia dan teman-temannya di kampung ingin sekali lepas dari pengangguran.      Kami berhenti sebentar melepas penat sambil makan nasi bungkus yang kami bawa dari kota Bangko tadi pagi. Sesekali kami terdiam dan prihatin mendengar kisah hidup Darwis dan kawan-kawannya yang kerja serabutan sambil mencari rotan di hutan. Perjalanan ke titik-titik singkapan berikutnya terus kami lakukan walau kaki ini amat letih. Kerap saya tertinggal di belakang dan langsung menjerit minta tunggu bila rombongan tidak tampak lagi oleh lebatnya hutan.      Akhirnya kami sampai ke titik singkapan terakhir setelah menyeberangi sungai kecil. Sebelumnya kami sempat menemukan sebuah perangkap menyerupai kandang terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kuat dugaan, itu adalah perangkap harimau yang dibuat oleh pemburu liar. Kami juga menemukan jerat-jerat kecil yang dibuat dari sebatang kayu kecil dan tali nilon. "Itu jerat landak dan kancil," kata Bobo, teman Darwis.      Hari sudah mulai gelap walau jam ditangan baru menunjukkan jam empat petang. Kami mempercepat langkah untuk segera kembali ke tempat di mana mobil dan sopir menunggu. Tanpa terasa sudah lima kilometer lebih kami mengintari hutan Nalotantan dengan berjalan kaki. Kami berhenti sejenak melihat tiga potong batu menyerupai kayu log sebesar drum. Rupanya itu adalah posil kayu sungkai yang sudah menjadi batu.      Kamipun duduk santai di atas posil kayu berwarna hitam itu sambil bergantian memotretnya dengan kamera saya. Tiba-tiba saya baru merasakan perih di kaki hingga betis. Rupanya puluhan ekor binatang bernama pacet sudah bunting menghisap darah di kaki saya. Kejadian itu juga menimpa teman-teman yang lain. Setidaknya, hari itu kami sudah donor darah untuk pacet hutan Nalotantan.      Kamipun mendapat berita dari pesan SMS, rupanya regu pertama yang masuk dari arah utara sudah kembali ke hotel. Mereka terpaksa menghentikan kegiatan survei karena mendapat pengusiran dari beberapa warga setempat. Ternyata, sebelum tim ekspedisi ini datang, sudah tersiar cerita bahwa masyarakat pemilik kebun akan mendapatkan biaya konvensasi jutaan rupiah bagi kebunnya yang terkena survei.       "Itu informasi yang keliru, dan tidak mungkin tim geologi memiliki  sumber dana untuk hal seperti itu. Kami ini tim peneliti, bukan pengusaha tambang," ungkap Pak Cecep dengan nada kecewa. Pakar geologi ini pun akhirnya menjelaskan, kejadian seperti ini baru pertama kali dialaminya. "Kalau di tempat lain malah masyarakatnya merasa senang lahannya disurvei karena baginya bisa memberi harapan yang besar pada masa yang akan datang," ujarnya.      Untung kesalahpahaman itu bisa diselesaikan oleh kepala desa setempat. Kegiatan survei dapat dilakukan kembali esok hari.   Di hotel kami banyak berdiskusi dengan geolog yang juga berprofesi sebagai dosen ini. Menurutnya, di Merangin potensi kandungan batubara amat sedikit. Rata-rata hanya dengan ketebalan dua hingga tiga meter dengan luas pormasi hanya beberapa ratus meter saja.       Tentu saja hal ini kurang ekonomis. Apalagi dengan jauhnya lokasi tambang dan dermaga. Belum lagi persoalan carut-marutnya kebijakan pemerintah daerah soal jalan. Rencana pengerukan Sungai Batanghari atau pembangunan jalan alternatif entah kapan akan terwujud.  Wajar saja bila masyarakat Jambi saat ini berpendapat, tambang batubara lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. ***       (Naskah ini sudah dimuat di halaman 1 Harian Tribun Jambi edisi Senin 19 Maret 2012)                                    

Sabtu, 10 Maret 2012

SENTILAN BANG DORI (1)

"Absen menjadi wartawan bisa aku lakukan walau tidak tahu sampai kapan. Tetapi absen menulis serasa sulit karena menulis bagiku bagai mendengar alunan musik..mengalir ke dalam jiwa..sampai jauh.." Itulah sebait kalimat yang saya tulis di profil akun facebook sejak absen sebagai jurnalis beberapa tahun silam. Hari  ini kegelisahan itu menyeruak. Saya tak kuasa menahannya. Puluhan tahun mendapat nafkah dari merangkai kata reportase hingga cerpen dan puisi. Terima kasih kepada redaksi koran ini, memberi ruang untuk saya berapresiasi, merangkai kata yang mungkin membuat pembaca tersinggung. Maafkan saya. Hari ini. Seketika rasa bangga saya terhadap Tebo sebagai "kota sejarah" --yang berkonotasi menyimpan kekayaan historis,  bersih, indah dan nyaman--menjadi sirna saat melihat kotoran sapi di mana-mana. Seolah, kota kecil ini menjadi WC umumnya para sapi, kerbau dan kambing. Saya tidak mengerti, kenapa semua orang menjadi acuh. Apakah para binatang itu yang harus lebih dulu diberi pendidikan etika misalnya, baru kemudian sanksi bisa ditegakkan? Atau kita yang tidak beretika lantaran sudah terbiasa menyaksikan sapi buang hajat dan orgasme melototi bokong seksinya? Ah..ini yang membuat saya masgul. Kini saya sedang bermimpi. Sebentar lagi kotaTebo siap berdandan. Jalan dua jalur yang mulus, lampu taman yang unik, trotoar dan selokan yang rapi, pohon pelindung dan tanaman hias di mana-mana. Turap Tanggo Rajo menjadi tempat bersantai yang  indah. Gemerlap lampu malam yang memantul ke Sungai Batanghari, menandakan; masyarakat Tebo memiliki jiwa estetika yang tinggi. Dalam mimpi saya, kian banyak yang sadar--kebersihan kota adalah cermin keimanan. Menurut saya, Pemkab Tebo harus tegas. Ternak yang berkeliaran cepat ditangkap. Bila tidak ada pemiliknya yang bertanggungjawab, boleh diberikan kepada desa lain yang lebih membutuhkan.  Atau disembelih dan dagingnya untuk fakir miskin agar anak-anak mereka bergizi. Tentu harus punya dasar hukum yang jelas serta mentalitas petugas yang kuat. Saya sangat tidak yakin kita telah kehabisan solusi untuk mengatasi hal ini. Saya bukan menggurui. Menjiwai etika dan estetika menjadi wajib tatkala  kita sepakat ingin wajah Tebo berubah. Bersyukurlah, Tebo tidak berdiri di atas tanah tandus dan kosong. Tebo ada setelah para pejuang menulis riwayat hidupnya dengan darah dan air mata. Makam Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin menjadi saksi bisu dalam babad sejarah keberadaan Tebo yang kini telah menjadi kabupaten. Sungguh, kita tidak punya etika sedikitpun bila ceceran darah, nyawa dan air mata mereka kita balas dengan onggokan kotoran sapi di mana-mana--hingga ke makam sang pahlawan. Tebo harus bangkit menggapai perubahan. Tebo tidak boleh santai, tidak boleh lelet dan harus bekerja keras  bila ingin mengejar ketertinggalannya. Tidak ada yang sulit bila memiliki kemauan yang kuat. Kecuali estetika warga Tebo yang rendah dan lebih suka bergunjing ketimbang memperindah lingkungannya. Salam perubahan!    (naskah ini sudah dimuat Radar Tebo edisi Senin, 27 Maret 2012)

SENTILAN BANG DORI (2)

Apa saja sih kekayaan alam Tebo? tanya seorang pengusaha sukses kepada saya di Jakarta belum lama ini. Langsung saya jawab begini, apa saja ada; lahan yang luas, batubara, minyak bumi dan sejumlah kekayaan alam lainnya. Kami juga punya taman nasional, beberapa air terjun, danau dan sejumlah objek wisata alam serta beraneka flora dan fauna, jawab saya dengan bangga. Wah..hebat dong. Lantas, kenapa penduduknya masih miskin, kenapa Tebo tidak pernah mencuat prestasinya ke kancah nasional? tanyanya lagi kepada saya. Sejenak saya terdiam. Dalam hati saya, orang ini pasti banyak tahu soal Tebo. Belum sempat saya menjawab lagi, sang milioner ini langsung nyerocos sambil menatap tajam. Anda tahu kan? Kekayaan alam itu anugerah Tuhan yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Anugerah itulah yang harus dikelola untuk kemakmuran umat. Ibarat sebuah produk industri, semua kekayaan alam itu harus laku. Agar laku, kita harus punya tenaga marketing yang hebat, sistem manajemen yang profesional dan terukur. Bersyukurlah kepada Tuhan, daerah Anda memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pesan saya, kata pria yang kerab nongol di televisi ini, jangan sampai seperti tikus mati di lumbung padi. Bukan mati kekenyangan tetapi mati kelaparan karena tidak tahu bagaimana menjadikan padi itu menjadi beras lalu ditanak menjadi nasi. Ia pun tertawa, dan saya tersenyum kecut. Di akhir pembicaraan dia bilang begini, kalau daerah Anda mau maju harus bisa mengundang kedatangan banyak orang. Keragaman dunia usaha dan investasi harus terus ditumbuhkembangkan, dan jangan ada yang memonopoli. Daerah tidak akan bisa mengelola potensinya sendiri tanpa campur tangan swasta. Tetapi harus ada regulasi dan kebijakan yang jelas; tidak membuat pengusaha menjadi ragu, kapok, lalu pergi tanpa jadi berinvestasi. Dalam dua pekan terakhir ini, hampir tiap hari saya mendapat email dari Tung Desem Waringin. The most powerful people and ideas, itu sangat populer dengan sebutan TDW. Dalam salah satu surat sang motivator keturunan china itu mengatakan, banyak orang gagal menuju sukses lantaran hal sepele--tidak mau mengaktualisasikan potensi dirinya dan hanya disibukkan dengan hal yang tidak penting. Padahal, kata TDW, tiap orang sudah diberi anugerah yang luar biasa. Orang yang cacat fisikpun masih bisa sukses. Ungkapan TDW itu mengingatkan saya akan seorang artis Daus Mini. Dengan keterbatasan fisiknya yang mungil, ia justru berhasil mendapatkan seorang istri yang tinggi dan cantik. Kini mereka telah dikaruniai seorang anak yang sehat. Semua karena kemampuan mengaktualisasikan potensi dirinya hingga iapun sukses secara finansial. Lalu saya teringat lagi dengan Suparwono. Manusia tertinggi nomor tiga di dunia asal Tulangbawang, itu sempat dijadikan ikon wisata Lampung dan terus ngetop oleh liputan media. Tetapi ia belum bisa beranjak dari gubuk sederhana milik orang tuanya, hingga ajal menjemputnya. Saya hanya ingin mengatakan, Tebo yang kaya sumber daya alam, seharusnya sudah menikmati pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Usia muda--baru dua belas tahun--sangatlah klasik dan kemunduran pola pikir bila itu yang menjadi alasan. Kalau kita bisa menggapai kemajuan itu dengan cepat, kenapa harus menunggu setelah tua? Rakyat Tebo sudah capek hidup serba terbatas. Mungkin benar apa yang dikatakan Jusuf Kalla; lebih cepat !! (naskah ini sudah dimuat di harian Radar Tebo, Senin 5 Maret 2012)

SENTILAN BANG DORI (3)

                                     Syahdan, di sebuah negeri antabarantah. Hiduplah seorang raja muda yang amat kaya. Suatu hari ia minta ditukar pengawal pribadinya dengan yang baru. Oleh para menteri disediakanlah dua orang satria untuk dipilih sang raja. Kedua jagoan itu bernama Ruka dan Ruki. Mereka dua bersaudara yang tidak tertandingi. Setelah menerima masukan dari banyak pihak, akhirnya sang raja memilih Ruka sebagai pengawal pribadinya. Ruki merasa iri dan mulai berusaha mempengaruhi pihak istana dengan terus menerus melancarkan fitnah tentang Ruka.  Masa lalu Ruka memang kelam. Ia pernah menjadi pembunuh bayaran. Tetapi akhirnya insaf dan lebih suka berbuat kebajikan. Ia tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan kebenaran. Jangankan membunuh manusia, membunuh lalat pun ia tidak tega. Kesetiaannya kepada sang raja telah berulangkali dibuktikannya.  Tetapi si licik Ruki tidak pernah menyerah. Dia sangat pandai mengarang cerita tentang kejelekan kakaknya itu. Singkat cerita, sang raja mulai terpengaruh dan selalu curiga terhadap apapun yang dilakukan Ruka. Meski Ruka tidak dipecat, tetapi tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam istana. Dia hanya diberi tugas mencabut rumput dan memberi makan kuda pacuan. Suatu hari kuda pacuan kesayangan raja mati diracuni Ruki. Namun tak seorang pun yang tahu, kecuali Ruka. Ruka sudah berusaha membela diri dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Tetapi sang raja terlanjur murka dan langsung mengusir Ruka dari negeri tersebut. Sejak itu, sang raja selalu diliputi rasa ketakutan dan cemas. Ia sulit sekali percaya pada orang lain. Setiap ada bisikan yang tidak baik, ia langsung percaya. Lama kelamaan orang-orang dekatnya mulai menjauh dan berkurang karena dipecat tanpa alasan yang jelas. Kini suasana istana tampak sepi dan tidak lagi hangat seperti dulu. Orang-orang yang tadinya amat setia dengan raja tidak lagi berani mendekat. Para menteri dan penasehat raja juga tidak mau banyak bicara. Mereka takut disalahkan dan dipecat. Diantara merekapun sudah saling curiga. Perpecahan tidak bisa dihindari. Raja kian bingung tiap kali menghadapi masalah dan tidak tahu harus bicara dengan siapa. Dia seperti berjalan di lorong gelap. Bila melangkah, kakinya tersandung sesuatu dan kepalanya membentur tembok. Ia ingin sekali keluar dari penderitaan itu tapi tak kuasa. Akhirnya sang raja mengasingkan diri ke hutan, lalu mati dimangsa hewan buas tanpa ada yang tahu. Cerita ini terilhami setelah saya membaca buku Mind Power Skills-nya Dr Ibrahim Ekfiky. Dalam buku internasional bestseller, itu menyebutkan, sejatinya pikiran negatif itu lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan. Ia merangkai hidup ini menjadi mata rantai penderitaan. Perasaan negatif, perilaku negatif, dan hasil yang negatif seperti sakit jiwa, sakit fisik, kesepian dan ketakutan.  Saya melihatnya seperti gigitan ular. Sangat menyakitkan tapi tidak mematikan. Yang mematikan adalah racun yang mengalir ke peredaran darah. Begitu pula dengan pikiran negatif; ia hanya bisikan yang muncul dalam diri seseorang. Yang membahayakan adalah penumpukkan pikiran dalam memori hingga menjadi kebiasaan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya. Itulah kenapa penderitaannya tiada berakhir. Semoga ini berhikmah. (naskah ini sudah dimuat di Harian Radar Tebo, Senin 12 Maret 2012)

Tim ekspedisi takut harimau (1)

Hari ini, Sabtu 10 Mei 2012, adalah hari kedua kami melakukan survei ke lokasi kuasa pertambangan batubara di kabupaten merangin, Jambi. Kegiatan ini kami sebut dengan coal expedition nalotantan. Nalotantan adalah nama kecamatan dan sebahagian besar terdiri kawasan hutan belukar dan perkebunan rakyat. Sebenarnya lokasi yang akan disurvei juga meliputi sebagian kecil wilayah yang masuk dalam kecamatan Batangmasumai. Kami mulai menuju lokasi jam 9 setelah sarapan pagi di rumah makan dendeng batokok. Sambil menunggu pelayan menyiapkan 20 bungkus nasi berikut rendang, kamipun sarapan dengan lahap. Maklum, fisik harus kuat karena info yang kami dapat, medan hutan yang akan ditempuh lumayan berat dan terjal. Hampir sebahagian besar wilayah kabupaten Merangin bertopografi berbukit karena hampir mendekati kawasan bukit barisan dan taman nasional Kerinci seblat. Setelah sampai di desa danau, rombongan mulai terpisah. Regu pertama dipimpin Pak Zainul dengan satu orang tenaga geologi dari Bandung. Tugas mereka menyisir kawasan selatan, dengan lebih dulu meniti jembatan gantung sekitar 25 meter. Jembatan ini sudah cukup tua dan harus waspada. Regu kedua terdiri dari saya sendiri, Hendra, Cecep geologi dari Bandung dan dua orang penunjuk jalan dari desa sekitar. Jujur, saya amat takut mengikuti rute regu kedua ini. Beberapa minggu sebelum kami datang, penduduk setempat dihebohkan dengan peristiwa terbunuhnya seorang petani oleh dua ekor harimau Sumatera. Saat ditemukan, tubuhnya sudah habis dilahap hewan buas tersebut dan kepalanya sudah terpisah dari badan. Hinggap kini kawanan hewan yang dilindungi itu belum berhasil ditangkap. Berbekal keyakinan, akhirnya kami sampai di desa nalobaru dan tidak berapa lama masuk ke kawasan hutan karet tua. Lama kelamaan kebun karet tidak tampak lagi dan berganti kawasan hutan yang lumayan lebat. Selain jalan berlumpur, mendannya cukup terjal. Mobil dobel kabin yang kami pakai terpaksa berhenti karena jembatan darurat dari kayu yang ada sudah patah. Hampir satu jam kami memperbaikinya dan perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Tetapi hanya tiga kilometer, kami terpaksa harus berjalan kaki lantaran mbol tidak bisa melewati sungai yang cukup lebar dan curam. Belum lagi reda rasa pegal dan nafasnya tersengal berat setelah mendaki bukit terjal, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara segerombolon burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan unggas langka itu terkejut dengan kedatangan kami. Tapi dalam hati ini ada rada kurang enak. Seolah ada semacam isyarat alam yang kurang baik...(bersambung)

Jumat, 09 Maret 2012

Ikan semah ikan terlezat

Ikan semah. Itulah yang saya ketahui namanya. Saya pun tidak tahu apa nama lainnya. Bagi masyarakat Jambi, ikan semah adalah ikan yang paling lezat. Jangankan dagingnya, sisiknya pun bisa digulai dengan santan, atau digoreng menjadi kerupuk. Pertama kali saya mengenal ikan ini saat makan di sebuah restoran sederhana di desa Sungaimanau dalam perjalanan ke Kabupaten Kerinci sepuluh tahun silam. Dibanding ikan air tawar lainnya, rasanya memang beda dan menurut saya amat lezat sekali. Mungkin karena ikan ini hidup di sungai pedalaman dan di danau-danau dingin di kaki pegunungan. Bentuknya mirip ikan kelemak. Ukurannya normal saja, sama halnya dengan ikan emas dan nila. Saya makan habis tiga potong. Harganya sedikit mahal dari ikan biasa. Lima tahun lalu, saat saya melakukan perjalanan dari Jambi ke Bangko, kembali ikan lezat itu saya temukan di rumah makan pasar bawah kota Bangko, sekitar enam jam sebelum mencapai Kerinci. Bersama saudara saya Kamal Saleh dari Jakarta, ikan tersebut kami habiskan hingga sepuluh potong. Kamal memang agak rakus dengan ikan. Ternyata ikan ini tidak gampang ditemui di tiap rumah makan. Apalagi di tempat tinggal saya di kota Jambi. Sesuai asalnya, dia hanya hidup di perairan yang bersih dan jernih. Makanannya lumut dan plangton-plangton air. Hari ini, 9 Matet 2012, saat saya berada di kota Bangko karena urusan bisnis, tiba-tiba saya ditelepon Kamal Saleh. "Kamu di Bangko ya..wah jangan lupa ikan semah dong," ujarnya dari jauh. Saya terperanjat dan langsung menuju Pasarbawah. "Maaf Pak, ikan semah sudah lama hilang, tak pernah ditemukan lagi," ujar pemilik rumah makan, tempat kami duli melahap rakus ikan aneh itu. Dalam perjalanan survei batubara di hutan-hutan Bangko, saya lihat semua air sungai keruh. Di hulu, banyak sekali penambang emas liar menggunakan mercuri. Ah..semahku sayang..semahku malang..